Zakheus

Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Luk. 19:8).

Tatapan Yesus yang lembut membuat Zakheus tak berdaya, luluh, dan mendengar-Nya serta menerima-Nya dalam rumahnya. Malahan Zakheus tidak sekedar menerima Yesus, ia menerima dengan sukacita. Tak terbayangkan sukacita itu!

Semua yang menyaksikan itu tahu Zakheus adalah seorang pendosa sehingga tidak layak menerima Yesus yang datang kepadanya. Masakan Yesus masuk pada sarang dosa, rumah, tempat terkumpulnya bea dan cukai rampasan? Namun Yesus menghendaki lain atas Zakheus, “karena orang ini pun anak Abraham” (Luk. 19:9).

Zakheus tetap anak Abraham, kendati pekerjaan terhina yang dilakukannya. Tidak ada pekerjaan atau jabatan apa pun yang tidak dapat disesuaikan dengan keselamatan (bdk. Luk. 3:12-14). Zakheus terkenal menagih lebih banyak dari yang telah ditentukan; merampas dan memeras orang lain. Akan tetapi hal-hal itu tidak menghilangkan statusnya sebagai anak Abraham. Justru ia berkemampuan untuk mengembalikan rampasan dan hasil perasannya. Tidak sekedar mengembalikan, setengah dari miliknya pun akan ia berikan kepada orang miskin, sedangkan hasil perasannya dikembalikan empat kali lipat.

“Empat kali lipat” menurut Hukum Yahudi (bdk. Kel. 21:36) hanya dalam satu hal saja menetapkan bahwa orang harus mengganti rugi empat kali lipat; Hukum Romawi menetapkan begitu sehubungan dengan tiap-tiap pencurian yang nyata (furta manifesta). Zakheus sendiri memperluas penetapan itu sampai merangkum setiap kerugian yang barangkali ditimpakannya pada orang lain.

Keterbatasan fisiknya, yang membuat ia sulit melihat Yesus, dan usahanya memanjat pohon ara menunjukkan satu gaya istimewa dari imannya. Maka “hari ini terjadi keselamatan kepada rumah ini” (Luk. 19:9). Ia yang berdosa menyadari kelemahannya, menumukan solusi, lalu berjumpa dengan Yesus. Perjumpaan itu membersihkan diri dan rumahnya sehingga muncul tekad untuk berbagi kepada orang lain.

Zakheus telah hilang dan kini ditemukan kembali. “Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10). Inisiatif Yesus untuk mencari yang hilang agar Ia menyelamatkannya. Karena itu Gereja berdoa, agar tidak seorang pun hilang: “Tuhan, jangan biarkan aku berpisah dari-Mu.” Memang, tidak seorangpun dapat meluputkan diri sendiri, tetapi Allah “mau, bahwa semua orang diselamatkan” (1Tim. 2:4), dan untuk Dia, “segalanya mungkin” (Mat. 19:26) [KGK 1058]. Begitu besar cinta Yesus kepada kita sehingga Ia mau menyelamatkan kita. Namun dibutuhkan pertobatan dari kita juga. Bertobat untuk mengalami cinta Yesus dan lalu mencintai orang lain.

Siapa yang diselamatkan? (2)

“Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” – “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu!” (Luk. 13:23-24a).

Pikiran pokoknya ialah Israel ditolak oleh Allah, sedangkan bangsa-bangsa bukan Yahudi dipanggil untuk keselamatan. Hubungan (darah/keturunan) Yesus dengan orang Yahudi tidak berarti sama sekali untuk mencegah diri dari penolakan oleh karena kelakuan yang tidak sesuai. Dengan demikian banyak orang tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah (keselamatan), sehingga orang-orang terdahulu (bangsa Yahudi) menjadi orang terakhir. Mereka justru akan menyaksikan orang bukan golongan mereka masuk dan menduduki tempat mereka sendiri pada perjamuan Mesias di dalam Kerajaan Allah.

Pertanyaan, “Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” mengarah kepada kehidupan abadi. Ada kehidupan lain selain kehidupan dunia ini. St. Sirilus dari Yerusalem berkata: “Tetapi dalam keramahan-Nya terhadap manusia, Ia telah menjanjikan kehidupan abadi secara pasti kepada kita manusia.” Rasul Yohanes mencatat “Barang siapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang memiliki hidup kekal di dalam dirinya” (1Yoh 3:14-15). Keadaan tidak memiliki hidup kekal berarti orang masuk pada neraka, api yang bernyala-nyala. Penderitaan neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan Allah; hanya di dalam Dia manusia dapat menemukan kehidupan dan kebahagiaan, karena untuk itulah ia diciptakan dan itulah yang ia rindukan (KGK 1035). Maka yang diselamatkan adalah mereka yang bersatu dengan Kristus selama hidupnya, yang mengasihi-Nya dan yang tidak melakukan dosa berat.

Yohanes Pembaptis menyamakan orang berdosa saat itu dengan ular beludak, yaitu mereka yang hendak melarikan diri dari murka yang akan datang (Luk. 3:7). Maka dari itu bertobatlah! Meski bergaris keturunan langsung dari Bapa Abraham itu sama sekali tidak menjamin keselamatan seseorang (Luk. 3:8). Hanya pertobatan yang menghasilkan buah-buah, yang menyelamatkan seseorang. Hal ini penting agar orang tidak seperti pohon yang tidak menghasilkan buah sehingga ditebang dengan kapak yang sudah tersedia (Luk. 3:9). Yesus mengecam orang-orang sebangsa-Nya yang berlagak benar dan mengusung diri sebagai keturunan Abraham padahal mereka menyimpang dari Allah dan berbuat dosa. “Sesungguhnya setiap orang yang berdosa adalah hamba dosa” (Yoh. 8:34).


Oleh karena itu pernyataan-pernyataan Kitab Suci dan ajaran Gereja mengenai neraka merupakan peringatan kepada manusia, supaya mempergunakan kebebasannya secara bertanggung jawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya. Semua itu juga merupakan himbauan yang mendesak supaya bertobat: “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya” (Mat 7:13-14) [KGK 1036]. Maka sebagai tanda keselamatan Allah, Gereja secara terus-menerus, sepanjang zaman, berusaha memanggil semua orang untuk mengenal Kristus dan hidup seperti-Nya. Di lain sisi, para anggota Gereja adalah pendosa tetapi secara konsisten mengusahakan pertobatan yang tiada henti bagi dirinya sendiri. Dengan demikian semua orang dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah melalui pintu yang sempit itu!

Maria, Suatu Pedang akan Menembus Jiwamu

Lalu Simeon berkata kepada Maria....”dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang” (Luk. 2:35).

Sebagai Puteri Sion yang sesungguhnya Maria dalam hidupnya akan mengalami nasib malang bangsanya. Bersama Anaknya ia menjadi sasaran perbantahan dan dalam hal itu manusia harus memilih menjadi kawan atau lawan Yesus. Pedang adalah sebuah lambang yang sepertinya diambil oleh St. Lukas dari Yeh. 14:17 atau Za. 12:10.

Yeh. 14:17 negeri itu akan menjadi sunyi sepih. Atau jikalau Aku membawa pedang atas negeri itu dan Aku berfirman: Hai pedang, jelajahilah negeri itu!

Za. 12:10 Aku akan mencurahkan roh pengasihna dan roh permohonan atas keluarga Daud dan atas penduduk Yerusalem, dan mereka akan memandang kepada dia yang telah mereka tikam, dan akan meratapi dia seperti orang meratapi anak tunggal, dan akan menangisi dia dengan pedih seperti orang menangisi anak sulung.

Di puncak Golgota, Yesus dengan Salib-Nya sangat jelas meneguhkan dan menunjukkan bahwa Ia menjadi “tanda yang menimbulkan perbantahan” seperti yang dinubuatkan oleh Simeon dahulu kala. Pada waktu dan kesempatan yang sama, di puncak Golgota itu, tergenapi nubuat Simeon atas Maria, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.” Duka dan kesedihan Maria tiada bandingnya!

Pedang dukacita, yang diramalkan Simeon untuk Maria, menandakan “persembahan” yang lain, yang sempurna dan yang satu-satunya, di salib, yang akan menganugerahkan keselamatan, “yang Allah persiapkan untuk segala bangsa” (KGK 529). Maria mengalami tikaman pedang itu tetapi sekaligus mempersembahkan Puteranya kepada Bapa.

St. Yakobus berkata: “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak. 1:12). Maria telah menunjukkan kualitas iman ini, yaitu taat kepada Allah yang disalibkan dan ia telah menerima mahkota kehidupan abadi itu.

Tidak salahlah orang Katolik menghormati Maria sebagai Bunda yang penuh sukacita sekaligus mengalami dukacita. Sebab “dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita dengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia [Maria] menjadi Bunda kita” (LG 61).

‘Tabib’ Sejati, Yesus Kristus

18 Oktober, Pesta St. Lukas, Pengarang Injil

Orang Yunani, Antiokia, adalah tempat asal Lukas, pengarang Injil. Awalnya adalah kafir dan pekerjaannya ialah menyembuhkan orang-orang sakit, tabib. Meski kafir, ternyata ia pribadi yang baik hati dan lembut. Ia mengenal Yesus melalui St. Paulus yang giat mewartakan Yesus ke mana-mana. Dalam masa-masa menjelang kemartirannya di Roma, Paulus menyebut Lukas secara terang-terangan (2Tim. 4:11), karena saat-saat itu, Lukas ada bersama-sama dengannya. Ini berbeda dengan bahasa-bahasa Lukas sendiri dalam kitabnya yang kedua; dimana ia sering menggunakan kata “kami” dalam penulisan kitab keduanya itu. Bahkan St. Paulus menyebutnya sebagai “yang terkasih” (Kol. 4:14) dan menyaksikan secara langsung bagaimana serdadu-serdadu Romawi menyeret St. Paulus.

Pengenalannya tentang Yesus didalami dalam pencariannya melalui para saksi awal kehidupan Yesus, termasuk Maria, Ibunda Yesus yang terkasih. Dari pencarian itu ia menemukan banyak hal tentang-Nya dan menuliskan dua kitab seperti yang kita kenal sekarang, Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Lihat, seorang tabib mencari Tabib sejati dalam hidupnya sendiri untuk diwartakan kepada orang-orang Kristen yang baru bertobat.

Yesus yang kita jumpai dalam Injil Lukas adalah Penyelamat seluruh umat manusia. Ia membawa kegembiraan dan kedamaian bagi siapa saja yang mau menerima-Nya. Ia memberikan perhatian khusus kepada orang-orang miskin dan sederhana. Ia memperlihatkan kasih Allah yang penuh dan pengampunan yang tanpa batas. Ini nampak dalam kisah “Anak yang Hilang,” bahkan ketika disalibkan sekalipun, Ia masih dapat mengampuni penjahat yang bertobat. Cerita-cerita Lukas ini menggambarkan diri Yesus yang ‘menyembuhkan’ manusia sebagai Tabib sejati. Maka sebagai Tabib, Lukas mengambil bagian sebagai seorang tabib, tetapi lebih dalam dari itu, ia tabib yang mewartakan Tabib Sejati, yaitu Yesus Kristus! Kita pun dapat menjadi tabib untuk sesama di sekitar kita dengan mewartakan Kristus seperti St. Lukas. 

Orang Samaria dan Belaskasih

Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati (Luk. 10:30).

Kisah ini mungkin tidak asing lagi bagi kita, dimana Yesus menceritakan kisah seorang Samaria yang murah hati kepada seorang ahli Taurat yang mencobai-Nya. “Guru, apa yang kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” dan “siapakah sesamaku manusia?” adalah pertanyaan sang ahli Taurat. Sedikit aneh di sini. Bagaimana mungkin seorang ahli Taurat tidak mengetahui tentang isi hukum Taurat yang membahas tentang cinta kepada Tuhan dan sesama? Ya, namanya juga “mencobai” jadi kita dapat memahaminya.

Akan tetapi, kebijaksanaan Yesus nampak di sini dan mematahkan ‘kebusukan’ hati sang ahli Taurat. Yesus merujuk kepada hukum kasih yang ditujukan kepada Allah dan sesama, dimana sang ahli Taurat sendiri menjawab pertanyaan-Nya (Luk. 10:27). Pertanyaan kedua sang ahli Taurat dijawab Yesus dengan kisah menarik yang dimaksudkan di atas, orang Samaria yang murah hati. Cerita ini dipaparkan Yesus agar memperlihatkan solidaritas kepada sesama manusia, terutama solidaritas kepada mereka yang menderita, susah dan tak berdaya. Namun solidaritas ini tidak dapat diwujudkan tanpa kasih atau kemurahan hati. Ahli Taurat itu dapat melihat hal ini dengan jelas sehingga ia mengakuinya.

Bukan rahasia lagi kalau orang Yahudi tidak menyukai orang Samaria. Orang Samaria adalah kaum campuran, antara Yahudi dan bangsa asing atau bidaah sehingga harus dihindari karena dianggap tidak asli lagi sebagai orang Yahudi. Di satu sisi, orang Yahudi dituntut lebih untuk menepati perintah kasih kepada sesama, tetapi imam dan Lewi justru menunjukkan penolakan terhadap sesama mereka di antara Yerusalem dan Yerikho. Di sisi lain, orang Samaria, yang hanya dapat dibenci, justru menunjukkan kasihnya kepada sesama yang menderita. Orang Samaria itu menyiraminya dengan minyak dan anggur, membalut luka-luka orang yang menderita itu, menaikannya ke atas keledai tunggangan, membawa ke tempat penginapan lalu merawatnya. Jelas, solidaritas orang Samaria ini menunjukkan pengenalannya kepada sesamanya manusia.

Gambaran utama untuk meneladani solidaritas seperti yang diwujudkan orang Samaria itu adalah Yesus sendiri. Keempat Injil mengulas secara rinci mengenai hal ini. Bahkan hukum Injil “memenuhi,” menghaluskan, melebihi, dan menyempurnakan hukum lama (Bdk. Mat 5:17-19). Dalam sabda bahagia ia memenuhi janji-janji ilahi, dengan meninggikannya dan mengarahkannya kepada Kerajaan surga. Ia menyapa mereka yang rela menerima harapan baru ini dengan percaya: orang miskin, orang yang rendah hati, yang berdukacita, manusia yang suci hatinya, dan mereka yang dianiaya demi Kristus. Dengan demikian ia merintis jalan-jalan Kerajaan Allah yang tidak diduga sama sekali (KGK 1967). Solidaritasnya kepada manusia dibuktikan secara nyata dalam sengsara dan wafat-Nya di kayu salib. Ia datang ke dunia, membalut luka-luka dosa kita, dan mengangkat kita untuk bangun dan mengikuti-Nya ke surga.

Jadi, sebetulnya cerita orang Samaria yang murah hati itu adalah diri-Nya sendiri yang selalu tergerak hati-Nya oleh belas kasihan. Belas kasihan Kristus kepada orang sakit dan penyembuhan segala macam penyakit (bdk. Mat 4:24) yang dilakukan-Nya, adalah tanda-tanda nyata bahwa “Allah... telah melawat umat-Nya” (Luk 7:16) dan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat sekali. Yesus mempunyai kuasa, tidak hanya untuk menyembuhkan, tetapi juga untuk mengampuni dosa (bdk. Mrk 2:5-12). Ia telah datang untuk menyembuhkan manusia seutuhnya - jiwa dan badan. Ia adalah dokter, yang orang-orang sakit butuhkan (bdk. Mrk 2:17). Belas kasihan Nya kepada orang yang menderita sekian dalam, sampai Ia menyamakan diri-Nya dengan mereka: “Ketika Aku sakit, kamu melawat Aku” (Mat 25:36). Cinta-Nya yang khusus kepada orang sakit menggerakkan warga Kristen sepanjang sejarah agar memperhatikan mereka yang menderita, baik badan maupun jiwa. Cinta itu mengajak supaya berusaha tanpa kenal lelah untuk meringankan nasib mereka (KGK 1503). Cinta dan belas kasihan Allah sudah sepatutnya menjadi milik kita, warga Kristen!

Iman dan Hamba

Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Luk. 17:7).

 Iman menjadi tema sentral yang diwartakan Gereja di hari Minggu Biasa XXVII (Tahun C) ini. Dua ayat sebelum ayat di atas ini berbicara tentang permintaan para Rasul kepada Yesus untuk menambahkan iman mereka. Yesus tidak secara langsung memenuhi permintaan itu, malahan seakan-akan Ia menunjukkan dan menyesali iman yang, katakanlah ‘kurang,’ dimiliki mereka. “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu” (Luk. 17:6). Jelas, iman sebesar biji sesawi saja, apabila kuat, orang dapat memindahkan pohon atau gunung sekalipun.

Kalau demikian, apa dan bagaimana itu iman?

Gereja Katolik mengajarkan: Apabila kita mengakui iman kita, kita mulai dengan kata-kata: “Aku percaya” atau “kami percaya.” Sebelum kita menguraikan kepercayaan Gereja seperti yang diakui dalam syahadat, dirayakan dalam liturgi, dihayati dalam pelaksanaan perintah-perintah dan dalam doa, kita menanyakan kepada diri sendiri, apa artinya “percaya.” Kepercayaan adalah jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia dan dengan demikian memberikan kepenuhan sinar kepada dia yang sedang mencari arti terakhir kehidupannya (KGK 26). Persis seperti St. Agustinus dalam pencarian imannya yang terus-menerus. “Aku percaya,” itulah iman Gereja, sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu Pembaptisan. “Kami percaya” itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam liturgi. “Aku percaya:” demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: “aku percaya,” “kami percaya” (PF 10). Iman adalah satu ikatan pribadi manusia seutuhnya kepada Allah yang mewahyukan Diri. Di dalamnya terdapat persetujuan akal budi dan kehendak terhadap wahyu Diri Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya (KGK 176).

Paus emeritus, Benedictus XVI dalam motu proprio, “Porta Fidei, no 7 menggambarkan: Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalamann rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab dia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Demikianlah St. Yakobus menegaskan, “Tetapi iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya (KGK 1815). Maka sesuai dengan seruan rasul Paulus kepada Timotius, seorang Kristen “janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita” dengan kata dan perbuatan (2Tim 1:8).


Karena iman itu begitu dalam, Yesus memberikan contoh kiasan atau perumpamaan “Tuan dan Hamba” (Luk. 17:7-10) kepada para Rasul-Nya. Contoh ini begitu sederhana dan dapat dipahami sebagai inti dari iman Kristen. Iman Kristen seperti seorang hamba yang melayani tuannya dengan setia, ia melakukan apa yang seharusnya dilakukan, tanpa perlu gaji atau upah. Ia bekerja dengan tekun dan sabar untuk menyenangkan hati tuannya, melakukan apa yang dikatakan tuannya kepadanya. “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Sabda Yesus ini diwujudkan-Nya sendiri dalam peristiwa wafat-Nya di salib. Karena taat kepada Bapa, Ia rela menderita dan memberikan nyawa-Nya bagi semua orang. Maka jelaslah, iman bukan sesuatu yang kosong, tetapi kepercayaan utuh kepada Allah dan terungkap dalam perbuatan kasih yang menghidupkan. Itulah kesadaran untuk merendahkan hati, mengorbankan diri, dan melakukan segala sesuatu dengan tulus-ikhlas tanpa pamor dan gila hormat. “Bila engkau tenggelam di dalam iman Katolik, engkau akan mengerti ini dengan sempurna.”