Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang
kami harus lakukan (Luk. 17:7).
Kalau demikian, apa dan
bagaimana itu iman?
Gereja
Katolik mengajarkan: Apabila kita mengakui iman kita, kita mulai dengan
kata-kata: “Aku percaya” atau “kami percaya.” Sebelum kita menguraikan
kepercayaan Gereja seperti yang diakui dalam syahadat, dirayakan dalam liturgi,
dihayati dalam pelaksanaan perintah-perintah dan dalam doa, kita menanyakan
kepada diri sendiri, apa artinya “percaya.” Kepercayaan adalah jawaban manusia
kepada Allah yang mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia dan dengan
demikian memberikan kepenuhan sinar kepada dia yang sedang mencari arti
terakhir kehidupannya (KGK 26). Persis seperti St.
Agustinus dalam pencarian imannya yang terus-menerus. “Aku percaya,” itulah iman Gereja, sebagaimana
setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu Pembaptisan. “Kami
percaya” itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam
konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam
liturgi. “Aku percaya:” demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang
menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: “aku percaya,” “kami
percaya” (PF 10). Iman adalah
satu ikatan pribadi manusia seutuhnya kepada Allah yang mewahyukan Diri. Di dalamnya
terdapat persetujuan akal budi dan kehendak terhadap wahyu Diri Allah melalui
perbuatan dan perkataan-Nya (KGK 176).
Paus emeritus, Benedictus XVI dalam motu proprio, “Porta Fidei, no 7
menggambarkan: Iman itu bertumbuh apabila
ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan
sebagai suatu pengalamann rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita
berbuah subur, sebab dia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita
untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati
dan budi siapa saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap
setia kepada sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Demikianlah St. Yakobus
menegaskan, “Tetapi iman
tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Iman tanpa harapan dan kasih tidak
sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya
anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya (KGK 1815). Maka sesuai dengan seruan rasul
Paulus kepada Timotius, seorang Kristen “janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita” dengan kata dan
perbuatan (2Tim 1:8).
Karena
iman itu begitu dalam, Yesus memberikan contoh kiasan atau perumpamaan “Tuan
dan Hamba” (Luk. 17:7-10) kepada para Rasul-Nya. Contoh ini begitu sederhana
dan dapat dipahami sebagai inti dari iman Kristen. Iman Kristen seperti seorang
hamba yang melayani tuannya dengan setia, ia melakukan apa yang seharusnya
dilakukan, tanpa perlu gaji atau upah. Ia bekerja dengan tekun dan sabar untuk
menyenangkan hati tuannya, melakukan apa yang dikatakan tuannya kepadanya. “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya
melakukan apa yang kami harus lakukan.” Sabda Yesus ini diwujudkan-Nya sendiri
dalam peristiwa wafat-Nya di salib. Karena taat kepada Bapa, Ia rela menderita
dan memberikan nyawa-Nya bagi semua orang. Maka jelaslah, iman bukan sesuatu
yang kosong, tetapi kepercayaan utuh kepada Allah dan terungkap dalam perbuatan
kasih yang menghidupkan. Itulah kesadaran untuk merendahkan hati, mengorbankan
diri, dan melakukan segala sesuatu dengan tulus-ikhlas tanpa pamor dan gila
hormat. “Bila engkau tenggelam di dalam iman Katolik, engkau akan mengerti ini
dengan sempurna.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar