Tuan dan hamba

“Demikianlah [juga] kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk. 17:10).

[Yesus] Tidak cukup hanya dengan mengajarkan itu, Yesus justru menjadi hamba bagi sekalian orang dengan hidupNya. Nabi Yesaya telah meramalkan ini jauh sebelum kedatangan Yesus (baca juga Kis. 8:29-35, 1Pet. 2:22-25). Dan, Yesus sendiri menegaskan: “Anak Manusia tidak datang untuk dilayani, tetapi untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Rasul Paulus melihat ‘perhambaan’ Yesus sebagai pengosongan diri untuk menyelamatkan semua orang (Flp. 2:5-8).

[Maria] Maria mengakui dirinya sebagai hamba Tuhan ketika menerima kabar gembira dari malaikat Gabriel. “Lihatlah, aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu” (Luk. 1:38). Dengan itu Maria menjad Bunda Allah dan Gereja mengajarkan: “Di bawah Yesus dan bersama Yesus, dengan rahmat Allah yang mahakuasa, Maria melayani misteri penebusan” (KGK 494). Sebagai hamba Allah, Maria melayaniNya tanpa cacat dengan menyerahkan diri seutuhnya kepada Puteranya.

[Orang Kudus] Mereka adalah para hamba Allah yang mengikuti teladan hidup Yesus. Percaya kepadaNya dan menyerahkan diri seutuhnya kepadaNya sama seperti Maria. Menumpahkan darah sekalipun, mereka rela asalkan iman mereka kepada Yesus tidak hilang. Gereja merayakan peringatan akan para martir dan para kudus yang lain, maka ia “mewartakan misteri Paska” di dalam mereka, “yang telah menderita dan dimuliakan bersama Kristus. Gereja menyajikan kepada kaum beriman teladan mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahala-pahala mereka Gereja memohonkan karunia-karunia Allah” (KGK 1173).

Konsep hamba yang diajarkan Yesus sungguh berakar dalam diri Bapa yang menghendaki keselamatan bagi semua orang. Yesus menjadi hamba dan diikuti oleh Gereja, baik yang masih hidup dan yang sudah beralih dari dunia ini, supaya dengan demikian diperkenankan berjumpa dengan Bapa dan Putera dan Roh Kudus dalam kehidupan kekal.

“Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Bekerja tanpa mencari nama tetapi memusatkan diri pada keselamatan kekal dengan berpijak pada Yesus, sehingga pengorbanan diri menjadi persembahan terindah bagi orang Kristen.


In te Domine speravi

Zakheus

Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat” (Luk. 19:8).

Tatapan Yesus yang lembut membuat Zakheus tak berdaya, luluh, dan mendengar-Nya serta menerima-Nya dalam rumahnya. Malahan Zakheus tidak sekedar menerima Yesus, ia menerima dengan sukacita. Tak terbayangkan sukacita itu!

Semua yang menyaksikan itu tahu Zakheus adalah seorang pendosa sehingga tidak layak menerima Yesus yang datang kepadanya. Masakan Yesus masuk pada sarang dosa, rumah, tempat terkumpulnya bea dan cukai rampasan? Namun Yesus menghendaki lain atas Zakheus, “karena orang ini pun anak Abraham” (Luk. 19:9).

Zakheus tetap anak Abraham, kendati pekerjaan terhina yang dilakukannya. Tidak ada pekerjaan atau jabatan apa pun yang tidak dapat disesuaikan dengan keselamatan (bdk. Luk. 3:12-14). Zakheus terkenal menagih lebih banyak dari yang telah ditentukan; merampas dan memeras orang lain. Akan tetapi hal-hal itu tidak menghilangkan statusnya sebagai anak Abraham. Justru ia berkemampuan untuk mengembalikan rampasan dan hasil perasannya. Tidak sekedar mengembalikan, setengah dari miliknya pun akan ia berikan kepada orang miskin, sedangkan hasil perasannya dikembalikan empat kali lipat.

“Empat kali lipat” menurut Hukum Yahudi (bdk. Kel. 21:36) hanya dalam satu hal saja menetapkan bahwa orang harus mengganti rugi empat kali lipat; Hukum Romawi menetapkan begitu sehubungan dengan tiap-tiap pencurian yang nyata (furta manifesta). Zakheus sendiri memperluas penetapan itu sampai merangkum setiap kerugian yang barangkali ditimpakannya pada orang lain.

Keterbatasan fisiknya, yang membuat ia sulit melihat Yesus, dan usahanya memanjat pohon ara menunjukkan satu gaya istimewa dari imannya. Maka “hari ini terjadi keselamatan kepada rumah ini” (Luk. 19:9). Ia yang berdosa menyadari kelemahannya, menumukan solusi, lalu berjumpa dengan Yesus. Perjumpaan itu membersihkan diri dan rumahnya sehingga muncul tekad untuk berbagi kepada orang lain.

Zakheus telah hilang dan kini ditemukan kembali. “Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10). Inisiatif Yesus untuk mencari yang hilang agar Ia menyelamatkannya. Karena itu Gereja berdoa, agar tidak seorang pun hilang: “Tuhan, jangan biarkan aku berpisah dari-Mu.” Memang, tidak seorangpun dapat meluputkan diri sendiri, tetapi Allah “mau, bahwa semua orang diselamatkan” (1Tim. 2:4), dan untuk Dia, “segalanya mungkin” (Mat. 19:26) [KGK 1058]. Begitu besar cinta Yesus kepada kita sehingga Ia mau menyelamatkan kita. Namun dibutuhkan pertobatan dari kita juga. Bertobat untuk mengalami cinta Yesus dan lalu mencintai orang lain.

Siapa yang diselamatkan? (2)

“Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” – “Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu!” (Luk. 13:23-24a).

Pikiran pokoknya ialah Israel ditolak oleh Allah, sedangkan bangsa-bangsa bukan Yahudi dipanggil untuk keselamatan. Hubungan (darah/keturunan) Yesus dengan orang Yahudi tidak berarti sama sekali untuk mencegah diri dari penolakan oleh karena kelakuan yang tidak sesuai. Dengan demikian banyak orang tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah (keselamatan), sehingga orang-orang terdahulu (bangsa Yahudi) menjadi orang terakhir. Mereka justru akan menyaksikan orang bukan golongan mereka masuk dan menduduki tempat mereka sendiri pada perjamuan Mesias di dalam Kerajaan Allah.

Pertanyaan, “Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?” mengarah kepada kehidupan abadi. Ada kehidupan lain selain kehidupan dunia ini. St. Sirilus dari Yerusalem berkata: “Tetapi dalam keramahan-Nya terhadap manusia, Ia telah menjanjikan kehidupan abadi secara pasti kepada kita manusia.” Rasul Yohanes mencatat “Barang siapa tidak mengasihi, ia tetap di dalam maut. Setiap orang yang membenci saudaranya, adalah seorang pembunuh manusia. Dan kamu tahu, bahwa tidak ada seorang pembunuh yang memiliki hidup kekal di dalam dirinya” (1Yoh 3:14-15). Keadaan tidak memiliki hidup kekal berarti orang masuk pada neraka, api yang bernyala-nyala. Penderitaan neraka yang paling buruk adalah perpisahan abadi dengan Allah; hanya di dalam Dia manusia dapat menemukan kehidupan dan kebahagiaan, karena untuk itulah ia diciptakan dan itulah yang ia rindukan (KGK 1035). Maka yang diselamatkan adalah mereka yang bersatu dengan Kristus selama hidupnya, yang mengasihi-Nya dan yang tidak melakukan dosa berat.

Yohanes Pembaptis menyamakan orang berdosa saat itu dengan ular beludak, yaitu mereka yang hendak melarikan diri dari murka yang akan datang (Luk. 3:7). Maka dari itu bertobatlah! Meski bergaris keturunan langsung dari Bapa Abraham itu sama sekali tidak menjamin keselamatan seseorang (Luk. 3:8). Hanya pertobatan yang menghasilkan buah-buah, yang menyelamatkan seseorang. Hal ini penting agar orang tidak seperti pohon yang tidak menghasilkan buah sehingga ditebang dengan kapak yang sudah tersedia (Luk. 3:9). Yesus mengecam orang-orang sebangsa-Nya yang berlagak benar dan mengusung diri sebagai keturunan Abraham padahal mereka menyimpang dari Allah dan berbuat dosa. “Sesungguhnya setiap orang yang berdosa adalah hamba dosa” (Yoh. 8:34).


Oleh karena itu pernyataan-pernyataan Kitab Suci dan ajaran Gereja mengenai neraka merupakan peringatan kepada manusia, supaya mempergunakan kebebasannya secara bertanggung jawab dalam hubungannya dengan nasib abadinya. Semua itu juga merupakan himbauan yang mendesak supaya bertobat: “Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju kebinasaan, dan banyak orang yang masuk melaluinya; karena sesaklah pintu dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan, dan sedikit orang yang mendapatinya” (Mat 7:13-14) [KGK 1036]. Maka sebagai tanda keselamatan Allah, Gereja secara terus-menerus, sepanjang zaman, berusaha memanggil semua orang untuk mengenal Kristus dan hidup seperti-Nya. Di lain sisi, para anggota Gereja adalah pendosa tetapi secara konsisten mengusahakan pertobatan yang tiada henti bagi dirinya sendiri. Dengan demikian semua orang dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah melalui pintu yang sempit itu!

Maria, Suatu Pedang akan Menembus Jiwamu

Lalu Simeon berkata kepada Maria....”dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri, supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang” (Luk. 2:35).

Sebagai Puteri Sion yang sesungguhnya Maria dalam hidupnya akan mengalami nasib malang bangsanya. Bersama Anaknya ia menjadi sasaran perbantahan dan dalam hal itu manusia harus memilih menjadi kawan atau lawan Yesus. Pedang adalah sebuah lambang yang sepertinya diambil oleh St. Lukas dari Yeh. 14:17 atau Za. 12:10.

Yeh. 14:17 negeri itu akan menjadi sunyi sepih. Atau jikalau Aku membawa pedang atas negeri itu dan Aku berfirman: Hai pedang, jelajahilah negeri itu!

Za. 12:10 Aku akan mencurahkan roh pengasihna dan roh permohonan atas keluarga Daud dan atas penduduk Yerusalem, dan mereka akan memandang kepada dia yang telah mereka tikam, dan akan meratapi dia seperti orang meratapi anak tunggal, dan akan menangisi dia dengan pedih seperti orang menangisi anak sulung.

Di puncak Golgota, Yesus dengan Salib-Nya sangat jelas meneguhkan dan menunjukkan bahwa Ia menjadi “tanda yang menimbulkan perbantahan” seperti yang dinubuatkan oleh Simeon dahulu kala. Pada waktu dan kesempatan yang sama, di puncak Golgota itu, tergenapi nubuat Simeon atas Maria, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri.” Duka dan kesedihan Maria tiada bandingnya!

Pedang dukacita, yang diramalkan Simeon untuk Maria, menandakan “persembahan” yang lain, yang sempurna dan yang satu-satunya, di salib, yang akan menganugerahkan keselamatan, “yang Allah persiapkan untuk segala bangsa” (KGK 529). Maria mengalami tikaman pedang itu tetapi sekaligus mempersembahkan Puteranya kepada Bapa.

St. Yakobus berkata: “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak. 1:12). Maria telah menunjukkan kualitas iman ini, yaitu taat kepada Allah yang disalibkan dan ia telah menerima mahkota kehidupan abadi itu.

Tidak salahlah orang Katolik menghormati Maria sebagai Bunda yang penuh sukacita sekaligus mengalami dukacita. Sebab “dengan mengandung Kristus, melahirkan-Nya, membesarkan-Nya, menghadapkan-Nya kepada Bapa di kenisah, serta dengan ikut menderita dengan Puteranya yang wafat di kayu salib, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan karya Juru selamat, dengan ketaatannya, iman, pengharapan serta cinta kasihnya yang berkobar, untuk membaharui hidup adikodrati jiwa-jiwa. Oleh karena itu dalam tata rahmat ia [Maria] menjadi Bunda kita” (LG 61).

‘Tabib’ Sejati, Yesus Kristus

18 Oktober, Pesta St. Lukas, Pengarang Injil

Orang Yunani, Antiokia, adalah tempat asal Lukas, pengarang Injil. Awalnya adalah kafir dan pekerjaannya ialah menyembuhkan orang-orang sakit, tabib. Meski kafir, ternyata ia pribadi yang baik hati dan lembut. Ia mengenal Yesus melalui St. Paulus yang giat mewartakan Yesus ke mana-mana. Dalam masa-masa menjelang kemartirannya di Roma, Paulus menyebut Lukas secara terang-terangan (2Tim. 4:11), karena saat-saat itu, Lukas ada bersama-sama dengannya. Ini berbeda dengan bahasa-bahasa Lukas sendiri dalam kitabnya yang kedua; dimana ia sering menggunakan kata “kami” dalam penulisan kitab keduanya itu. Bahkan St. Paulus menyebutnya sebagai “yang terkasih” (Kol. 4:14) dan menyaksikan secara langsung bagaimana serdadu-serdadu Romawi menyeret St. Paulus.

Pengenalannya tentang Yesus didalami dalam pencariannya melalui para saksi awal kehidupan Yesus, termasuk Maria, Ibunda Yesus yang terkasih. Dari pencarian itu ia menemukan banyak hal tentang-Nya dan menuliskan dua kitab seperti yang kita kenal sekarang, Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Lihat, seorang tabib mencari Tabib sejati dalam hidupnya sendiri untuk diwartakan kepada orang-orang Kristen yang baru bertobat.

Yesus yang kita jumpai dalam Injil Lukas adalah Penyelamat seluruh umat manusia. Ia membawa kegembiraan dan kedamaian bagi siapa saja yang mau menerima-Nya. Ia memberikan perhatian khusus kepada orang-orang miskin dan sederhana. Ia memperlihatkan kasih Allah yang penuh dan pengampunan yang tanpa batas. Ini nampak dalam kisah “Anak yang Hilang,” bahkan ketika disalibkan sekalipun, Ia masih dapat mengampuni penjahat yang bertobat. Cerita-cerita Lukas ini menggambarkan diri Yesus yang ‘menyembuhkan’ manusia sebagai Tabib sejati. Maka sebagai Tabib, Lukas mengambil bagian sebagai seorang tabib, tetapi lebih dalam dari itu, ia tabib yang mewartakan Tabib Sejati, yaitu Yesus Kristus! Kita pun dapat menjadi tabib untuk sesama di sekitar kita dengan mewartakan Kristus seperti St. Lukas. 

Orang Samaria dan Belaskasih

Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati (Luk. 10:30).

Kisah ini mungkin tidak asing lagi bagi kita, dimana Yesus menceritakan kisah seorang Samaria yang murah hati kepada seorang ahli Taurat yang mencobai-Nya. “Guru, apa yang kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” dan “siapakah sesamaku manusia?” adalah pertanyaan sang ahli Taurat. Sedikit aneh di sini. Bagaimana mungkin seorang ahli Taurat tidak mengetahui tentang isi hukum Taurat yang membahas tentang cinta kepada Tuhan dan sesama? Ya, namanya juga “mencobai” jadi kita dapat memahaminya.

Akan tetapi, kebijaksanaan Yesus nampak di sini dan mematahkan ‘kebusukan’ hati sang ahli Taurat. Yesus merujuk kepada hukum kasih yang ditujukan kepada Allah dan sesama, dimana sang ahli Taurat sendiri menjawab pertanyaan-Nya (Luk. 10:27). Pertanyaan kedua sang ahli Taurat dijawab Yesus dengan kisah menarik yang dimaksudkan di atas, orang Samaria yang murah hati. Cerita ini dipaparkan Yesus agar memperlihatkan solidaritas kepada sesama manusia, terutama solidaritas kepada mereka yang menderita, susah dan tak berdaya. Namun solidaritas ini tidak dapat diwujudkan tanpa kasih atau kemurahan hati. Ahli Taurat itu dapat melihat hal ini dengan jelas sehingga ia mengakuinya.

Bukan rahasia lagi kalau orang Yahudi tidak menyukai orang Samaria. Orang Samaria adalah kaum campuran, antara Yahudi dan bangsa asing atau bidaah sehingga harus dihindari karena dianggap tidak asli lagi sebagai orang Yahudi. Di satu sisi, orang Yahudi dituntut lebih untuk menepati perintah kasih kepada sesama, tetapi imam dan Lewi justru menunjukkan penolakan terhadap sesama mereka di antara Yerusalem dan Yerikho. Di sisi lain, orang Samaria, yang hanya dapat dibenci, justru menunjukkan kasihnya kepada sesama yang menderita. Orang Samaria itu menyiraminya dengan minyak dan anggur, membalut luka-luka orang yang menderita itu, menaikannya ke atas keledai tunggangan, membawa ke tempat penginapan lalu merawatnya. Jelas, solidaritas orang Samaria ini menunjukkan pengenalannya kepada sesamanya manusia.

Gambaran utama untuk meneladani solidaritas seperti yang diwujudkan orang Samaria itu adalah Yesus sendiri. Keempat Injil mengulas secara rinci mengenai hal ini. Bahkan hukum Injil “memenuhi,” menghaluskan, melebihi, dan menyempurnakan hukum lama (Bdk. Mat 5:17-19). Dalam sabda bahagia ia memenuhi janji-janji ilahi, dengan meninggikannya dan mengarahkannya kepada Kerajaan surga. Ia menyapa mereka yang rela menerima harapan baru ini dengan percaya: orang miskin, orang yang rendah hati, yang berdukacita, manusia yang suci hatinya, dan mereka yang dianiaya demi Kristus. Dengan demikian ia merintis jalan-jalan Kerajaan Allah yang tidak diduga sama sekali (KGK 1967). Solidaritasnya kepada manusia dibuktikan secara nyata dalam sengsara dan wafat-Nya di kayu salib. Ia datang ke dunia, membalut luka-luka dosa kita, dan mengangkat kita untuk bangun dan mengikuti-Nya ke surga.

Jadi, sebetulnya cerita orang Samaria yang murah hati itu adalah diri-Nya sendiri yang selalu tergerak hati-Nya oleh belas kasihan. Belas kasihan Kristus kepada orang sakit dan penyembuhan segala macam penyakit (bdk. Mat 4:24) yang dilakukan-Nya, adalah tanda-tanda nyata bahwa “Allah... telah melawat umat-Nya” (Luk 7:16) dan bahwa Kerajaan Allah sudah dekat sekali. Yesus mempunyai kuasa, tidak hanya untuk menyembuhkan, tetapi juga untuk mengampuni dosa (bdk. Mrk 2:5-12). Ia telah datang untuk menyembuhkan manusia seutuhnya - jiwa dan badan. Ia adalah dokter, yang orang-orang sakit butuhkan (bdk. Mrk 2:17). Belas kasihan Nya kepada orang yang menderita sekian dalam, sampai Ia menyamakan diri-Nya dengan mereka: “Ketika Aku sakit, kamu melawat Aku” (Mat 25:36). Cinta-Nya yang khusus kepada orang sakit menggerakkan warga Kristen sepanjang sejarah agar memperhatikan mereka yang menderita, baik badan maupun jiwa. Cinta itu mengajak supaya berusaha tanpa kenal lelah untuk meringankan nasib mereka (KGK 1503). Cinta dan belas kasihan Allah sudah sepatutnya menjadi milik kita, warga Kristen!

Iman dan Hamba

Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan (Luk. 17:7).

 Iman menjadi tema sentral yang diwartakan Gereja di hari Minggu Biasa XXVII (Tahun C) ini. Dua ayat sebelum ayat di atas ini berbicara tentang permintaan para Rasul kepada Yesus untuk menambahkan iman mereka. Yesus tidak secara langsung memenuhi permintaan itu, malahan seakan-akan Ia menunjukkan dan menyesali iman yang, katakanlah ‘kurang,’ dimiliki mereka. “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu” (Luk. 17:6). Jelas, iman sebesar biji sesawi saja, apabila kuat, orang dapat memindahkan pohon atau gunung sekalipun.

Kalau demikian, apa dan bagaimana itu iman?

Gereja Katolik mengajarkan: Apabila kita mengakui iman kita, kita mulai dengan kata-kata: “Aku percaya” atau “kami percaya.” Sebelum kita menguraikan kepercayaan Gereja seperti yang diakui dalam syahadat, dirayakan dalam liturgi, dihayati dalam pelaksanaan perintah-perintah dan dalam doa, kita menanyakan kepada diri sendiri, apa artinya “percaya.” Kepercayaan adalah jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia dan dengan demikian memberikan kepenuhan sinar kepada dia yang sedang mencari arti terakhir kehidupannya (KGK 26). Persis seperti St. Agustinus dalam pencarian imannya yang terus-menerus. “Aku percaya,” itulah iman Gereja, sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu Pembaptisan. “Kami percaya” itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam liturgi. “Aku percaya:” demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: “aku percaya,” “kami percaya” (PF 10). Iman adalah satu ikatan pribadi manusia seutuhnya kepada Allah yang mewahyukan Diri. Di dalamnya terdapat persetujuan akal budi dan kehendak terhadap wahyu Diri Allah melalui perbuatan dan perkataan-Nya (KGK 176).

Paus emeritus, Benedictus XVI dalam motu proprio, “Porta Fidei, no 7 menggambarkan: Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalamann rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab dia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Demikianlah St. Yakobus menegaskan, “Tetapi iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:26). Iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya (KGK 1815). Maka sesuai dengan seruan rasul Paulus kepada Timotius, seorang Kristen “janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita” dengan kata dan perbuatan (2Tim 1:8).


Karena iman itu begitu dalam, Yesus memberikan contoh kiasan atau perumpamaan “Tuan dan Hamba” (Luk. 17:7-10) kepada para Rasul-Nya. Contoh ini begitu sederhana dan dapat dipahami sebagai inti dari iman Kristen. Iman Kristen seperti seorang hamba yang melayani tuannya dengan setia, ia melakukan apa yang seharusnya dilakukan, tanpa perlu gaji atau upah. Ia bekerja dengan tekun dan sabar untuk menyenangkan hati tuannya, melakukan apa yang dikatakan tuannya kepadanya. “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Sabda Yesus ini diwujudkan-Nya sendiri dalam peristiwa wafat-Nya di salib. Karena taat kepada Bapa, Ia rela menderita dan memberikan nyawa-Nya bagi semua orang. Maka jelaslah, iman bukan sesuatu yang kosong, tetapi kepercayaan utuh kepada Allah dan terungkap dalam perbuatan kasih yang menghidupkan. Itulah kesadaran untuk merendahkan hati, mengorbankan diri, dan melakukan segala sesuatu dengan tulus-ikhlas tanpa pamor dan gila hormat. “Bila engkau tenggelam di dalam iman Katolik, engkau akan mengerti ini dengan sempurna.”

Dua macam dasar

Setiap orang yang datang kepadaKu dan mendengarkan perkataanKu serta melakukannya – Aku akan menyatakan kepadamu dengan siapa ia dapat disamakan – , (Luk. 6:47).

Lukas mengutip sabda Yesus ini lalu menambahkan lagi penjelasannya pada baris-baris kalimat seterusnya (Luk. 6:48-49). Pada penjelasan itu, Yesus menyamakan orang yang mendengarkan dan melakukan perkataanNya dengan orang yang membangun rumah di atas batu. Sebaliknya, orang yang mendengar tetapi tidak melakukan perkataanNya itu sama dengan orang yang membangun rumah di atas tanah. Rumah yang pertama kokoh-kuat, tetapi yang lain rubuh dan rusak parah.

Mari kita telusuri lebih dalam gaya bahasa Lukas yang dikutipkan di atas. Sesungguhnya, gaya bahasa itu mengingatkan kita akan gaya bahasa Yohanes dalam tulisannya (injil). Bisa dilihat dalam Yoh. 6:35 sampai seterusnya. “Kata Yesus kepada mereka: Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepadaKu, ia tidak akan haus lagi.”

Mendengarkan dan melakukan merupakan tindakan yang seharusnya sepadan. Di bagian lain, Lukas mengutip dua tindakan penting ini: “IbuKu dan saudara-saudaraKu ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya” (Luk. 8:21).

Kalau di dalam Injil Yohanes (6:35) Yesus menunjukkan diriNya sebagai roti hidup, maka orang yang datang atau orang yang percaya kepadaNya tidak akan lapar dan haus lagi. Ini sejalan dengan mendengarkan dan melakukan sabdaNya. Pertama-tama adalah percaya kepada Yesus, lalu mendengarkanNya dan melakukan apa yang didengar dariNya supaya kebutuhan hidup kekal terpenuhi. Atau, minimal seperti orang yang mendirikan rumahnya dengan meletakkan dasarnya di atas batu sehingga rumah itu kuat dan tidak dapat digoyahkan (Luk. 6:48). Kiranya Matius menuliskan tentang hal ini dengan jelas dalam Injilnya, “Ada tertulis: Manusia hidup bukan hanya dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4).

Gereja dapat hidup karena ia mendengar dan melakukan sabda Yesus. Tradisi yang hidup sejak Gereja Perdana memang demikian. Para Rasul (serta Maria dan murid-murid Yesus yang lain) percaya kepada Yesus, mendengarkan Yesus dan melakukan sabda Yesus; tentu proses ini dapat terjadi karena bantuan Roh Kudus yang hidup dalam diri mereka (bdk. KGK 83). Mereka semua layak disebut sebagai Ibu dan saudara-saudara Yesus. Yesuslah roti hidup sehingga Para Rasul yang percaya kepadaNya memperoleh hidup di dalam Dia.

Oleh karena mereka adalah orang-orang terdekat Yesus, maka mereka memiliki wewenang untuk mengajarkan hal yang sama dari Yesus kepada anggota-anggota Gereja yang lain, yang membuka diri untuk percaya kepada Yesus. Ini ditegaskan sendiri oleh Yesus: “Barang siapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku” (Luk. 10:16). “Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh Sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipelihara dengan suci, dan diterangkannya dengan setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah” (KGK 86).

Sikap mendengar dan melakukan adalah penting dalam iman akan Yesus. Kita mendengarkan sang Roti Hidup supaya dikenyangkan dan tidak haus lagi. Jadi, selain mendengarkan dan melakukan sabda Yesus merupakan suatu kepenuhan eskatologis (pemenuhan akan Kerajaan Allah) bagi GerejaNya, juga merupakan suatu otoritas yang diberikan Yesus kepada Gereja untuk menjaga dan melestarikan ajaranNya agar orang tidak tersesat. Dengan kata lain, Gereja mengajarkan ajaran Yesus, kita mendengarkan dan melakukannya supaya dikenyangkan dan tidak haus lagi serta kokoh kuat membangun hidup, tetapi juga kelak memperoleh kebahagiaan kekal saat kedatangan Yesus untuk kedua kalinya.


Siapa yang diselamatkan? (1)

Dear Catholic Church
Mat. Luk. 13:22-30, Spirit Gereja Kristus

Siapa yang diselamatkan? - "Berjuanglah untuk masuk melalui pintu yang sesak itu!" (Luk. 13:24).

Pikiran pokoknya ialah Israel ditolak oleh Allah, sedangkan bangsa-bangsa bukan Yahudi dipanggil untuk keselamatan. Hubungan (darah/keturunan) Yesus dengan orang Yahudi tidak berarti sama sekali untuk mencegah diri dari penolakan oleh karena kelakuan yang tidak sesuai.

Dengan demikian banyak orang tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah (keselamatan), sehingga orang-orang terdahulu (bangsa Yahudi) menjadi orang terakhir. Mereka justru akan menyaksikan orang bukan golongan mereka masuk dan menduduki tempat mereka sendiri pada perjamuan Mesias di dalam Kerajaan Allah.

Yesus membuka harapan bagi orang lain untuk menyambut Kerajaan Allah. Tetapi harapan itu disertai dengan perbuatan, yaitu perjuangan untuk menjadi seperti Dia sendiri. Isi dari perjuangan itu adalah pertobatan, penderitaan dan pengorbanan diri yang tiada batas. Ini tak lain adalah membantu mengangkat yang kecil, hina, dina, papah, miskin, semuanya kepada kebahagiaan mereka.

So, pertanyaan "Tuhan, sedikit sajakah orang yang diselamatkan?" dijawab oleh Yesus secara tepat! Pintu itu adalah Yesus sendiri. Barangsiapa yang mau masuk ke dalam Kerajaan Allah haruslah melalui Dia, sebab pintu sejati adalah Kristus yang wafat dan bangkit. Ikut jalan Kristus sama halnya dengan mengikuti jalan kemenangan, yaitu melewati pintu yang sesak.

Eng’Co, Sang Pejuang Kecil

Ahli-ahli Taurat dan Orang-orang Farisi

Dear Catholic Church
Mat. 23:1-12, Spirit Gereja Kristus

AHLI-AHLITAURAT&ORANG-ORANGFARISI~Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkan tetapi tidak melakukannya (Mat. 23:2-3).

Yesus tidak segan-segan mengkritik mereka-mereka itu. Segala sesuatu yang mereka ajarkan, lakukanlah itu! Begitulah yang diinginkan Yesus bagi para pengikut-Nya, orang Kristen. Namun demikian, ajaran yang dimaksudkan Yesus untuk dilakukan adalah sejauh yang mereka lanjutkan dari tradisi Musa (Perjanjian Lama). Tidak termasuk di dalamnya penafsiran mereka sendiri. Yesus telah memberikan pendapat-Nya terhadap penafsiran mereka itu.

Lihatlah ‘perbandingan’ yang diutarakan Yesus tentang Perintah Allah dan Adat-istiadat Yahudi (bdk. Mat. 15:1-20). Beberapa ahli Taurat dan orang Farisi berbicara soal tradisi pembasuhan tangan sebelum makan, namun Yesus mengkritik mereka. Mereka lebih menghormati tradisi nenek moyang mereka tetapi tidak menuruti firman Allah, yang jelas jauh lebih berguna daripada tradisi itu. Tradisi pembasuhan tangan diperhatikan, tetapi firman Allah diabaikan?

Ini tidak benar, maka perlu diluruskan oleh Yesus. Yang jelas, menghormati bapa dan ibu sendiri lebih berguna ketimbang memperhatikan hal kecil seperti tradisi membasuh tangan sebelum makan itu. Maka tidak heran Yesus mengutip nubuat Yesaya: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia (Mat. 15:8-9).

Kritikan lain yang dicatat Matius adalah soal ragi orang Farisi dan Saduki (Mat. 16:6). Seperti ragi yang dapat mengkhamirkan seluruh adonan, tetapi juga dapat membusukkannya. Demikianpun ajaran sesat yang dianut para pemimpin Yahudi dapat menyesatkan seluruh bangsa yang mereka bimbing. Inilah yang dimaksudkan dengan sabda-Nya, Jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam lobang (Mat. 15:14).

Semua ini dilakukan Yesus agar orang dapat membedakan antara ajaran dan perbuatan orang lain. Apa yang dilakukan Yesus ini sangat detail sehingga kebenaran terungkap. Sesungguhnya kiritikan-kritikan Yesus ini tajam dan meluruskan pemahaman orang banyak yang mengikuti-Nya supaya hidup dalam kebenaran itu. Maka jalan satu-satunya untuk mengikuti Allah, yaitu Sang Kebenaran sejati, adalah mendengarkan Yesus dan menjadi seperti Dia. Sebab Ia sendiri pernah bersabda Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yoh. 14:6).

Eng’Co, Sang Pejuang Kecil


Perjamuan Kawin

Dear Catholic Church
Mat. 22:1-14, Spirit Gereja Kristus

PERJAMUANKAWIN~”Hai saudara, bagaimana engkau masuk ke mari dengan tidak mengenakan pakaian pesta?” (Mat. 22:12). Satu pertanyaan ini terdapat dalam perumpamaan tentang perjamuan kawin yang diceritakan Yesus kepada imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi.

Ada pun undangan perjamuan kawin itu sudah disebarkan tetapi orang mengurung diri untuk hadir di sana. Kelihatannya kesibukan masing-masing orang lebih penting daripada undangan itu. Maka semua orang yang ada di persimpangan-persimpangan jalan, yaitu orang-orang jahat dan orang-orang baik, semuanya dikumpulkan untuk mengikuti perjamuan itu.

Ciri perumpamaan ini alegoris, sama halnya dengan perumpamaan sebelumnya (Mat. 21:33-41) dan memiliki maksud yang sama. Raja dalam perumpamaan itu ialah Allah yang memerintah. Perjamuan kawin itu sendiri melukiskan kebahagiaan di zaman Mesias, yaitu Yesus. Sedangkan anak raja itu tidak lain adalah Mesias ini. Hamba-hamba yang disuruh raja ialah para nabi dan rasul. Sebaliknya, para undangan yang tidak mengindahkan undangan raja ialah orang Yahudi. Mereka yang mengindahkan undangan itu ialah orang berdosa dan kaum kafir. Kota yang terbakar adalah Yerusalem yang dimusnahkan.

Catatan khusus bagi ‘saudara’ yang tidak mengenakan pakaian pesta. Orang yang diundang lalu menerima undangan itu, sudah selayaknya mengenakan pakaian pesta. Ini menjadi suatu keharusan, apalagi dalam suatu pesta perkawinan. Demikianlah iman harus diselaraskan dengan perbuatan benar (bdk. Mat. 3:8, 5:20, 7:21, 13:47 dst., 21:28 dst.). Sikap tobat, hidup keagamaan yang benar, melakukan kehendak Allah, merupakan ciri-ciri orang yang menanggapi undangan pesta itu secara tepat dan dinyatakan layak masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Eng’Co #pejuangkecil


Perkawinan

DEAR CATHOLIC CHURCH
Mat. 19:3-12 [HB (H), 12/8, Thn C/II]
Spirit Katolik, Gereja Kristus

PERKAWINAN~”Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Mat. 19:5-6).

“Perjanjian Perkawinan, dengan mana pria dan wanita membentuk antar mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan Perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen” (CIC, can. 1055, § 1) #KGK1601. Ini adalah ajaran sekaligus hukum yang bersumber dari firman Allah sendiri.

Ingatlah bahwa sejak semula Allah, Sang Pencipta, menjadikan manusia laki-laki dan perempuan (Kej. 2:8-25, Mat. 19:4). Mat. 19:5 (Kej. 2:24) menjadi penegasan Yesus untuk menunjuk dasar perkawinan, yaitu persekutuan (consortium) seluruh hidup antara pria dan wanita. Keduanya diciptakan satu untuk yang lain; “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja” (Kej. 2:18). Wanita adalah “daging dari dagingnya,” artinya ia adalah partner sederajat dan sangat dekat. Ia diberikan oleh Allah kepadanya sebagai penolong dan dengan demikian mewakili Allah, pada-Nya kita beroleh pertolongan, #KGK1605.

Secara mutlak Yesus menegaskan dan mempertahankan bahwa perkawinan tidak dapat diceraikan oleh manusia (bdk. Mat. 19:6). Sebab persekutuan hidup yang telah dibangun oleh pria dan wanita sudah menjadi “satu daging,” di mana Allah sendirilah yang mengadakannya dan mengukuhkannya dengan hukum-hukum-Nya … Allah sendirilah Pencipta Perkawinan. #KGK1603. Maka kehadiran Yesus pada pesta perkawinan di Kana itu suatu penegasan bahwa Perkawinan adalah sesuatu yang baik, dan pernyataan bahwa mulai sekarang Perkawinan adalah suatu tanda kehadiran Kristus yang berdaya guna. #KGK1613.

Hanya “ketegaran hati”lah yang dapat ‘menghalalkan’ perceraian, seperti surat cerai yang diberikan oleh Musa (Mat. 19:8). Dosa ketidaksetiaanlah perusak keluhuran martabat Perkawinan. Namun bukan berarti Yesus mengizinkan perceraian kalau ada zinah – dapat kawin lagi – (Mat. 19:9). Ia hanya menyesuaikan diri dengan apa yang diizinkan hukum Musa yang justru dikecam-Nya. Perkawinan tetaplah tak terceraikan! Yesus tidak meletakkan kepada suami isteri beban yang tidak terpikulkan, yang lebih berat lagi daripada hukum Musa. Ia sendiri memberi kekuatan dan rahmat, untuk dapat menghidupkan Perkawinan dalam sikap baru Kerajaan Allah. #KGK1615.

Eng’Co
#pejuangkecil

Anak Kecil & Sorga

Mat. 18:1-5,10,12-14.
Spirit Katolik, Gereja Kristus

ANAKKECIL&SORGA~”Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” (Mat. 18:1). Demikian para murid bertanya kepada Yesus. Yesus menempatkan seorang anak kecil di tengah mereka dan memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Ada semacam tingkatan dalam jawaban itu. Pertama, orang perlu bertobat dahulu lalu menjadi sama seperti anak-anak kecil (Mat. 18:3). Kedua, merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil (Mat. 18:4). Yesus menunjuk dengan pasti bahwa tingkatan kedua ini merupakan alasan seseorang dinyatakan sebagai yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.

Matius mengartikan Kerajaan Surga sama dengan Kerajaan Allah. Dan tujuan hidup orang Kristen adalah mewarisi Kerajaan Allah itu. Warisan ini diperoleh dengan menerima Yesus dan menjadi anggota Gereja, Israel Baru. “Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku” (Mat. 18:5). Yesus membuka wawasan para murid bahwa untuk menjadi seperti seorang anak, kesederhanaanlah wujudnya (bdk. Mat. 18:4). Dan, kesederhanaan itu tidak lain adalah merendahkan diri melalui jalan pertobatan.

Penegasan Yesus jelas, bahwa untuk menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Sorga, orang harus masuk terlebih dahulu ke dalam Kerajaan itu. Bagaimana mungkin menjadi yang terbesar tetapi tidak memperoleh Sorga? Maka Yesus berpesan supaya jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil. Kerena di Sorga itu, ada malaikat mereka yang selalu memandang wajah Bapa-Nya (Mat. 18:10). Meski begitu, memandang wajah Bapa bukan menjadi penekanannya, melainkan pergaulan tetap dan mesra para malaikat dengan Bapa (bdk. Mzm. 11:7).

Bertobat dan menjadi seperti anak kecil adalah pijakan menuju Kerajaan Allah, Sorga. Inilah yang dilakukan Yesus, mewartakan pertobatan, yaitu kabar baik. Dengan cara ini, Ia menghimpun semua orang untuk masuk ke dalam Kerajaan itu. Sebab Bapa tidak menghendaki supaya seorangpun hilang dari pada-Nya (Mat. 18:14). Dari pertobatan, kita menemukan identitas kita sebagai anak Bapa lalu bersikap sederhana: adil dan tulus, dan kelak diperkenankan untuk memandang wajah-Nya.

Eng’Co
#pejuangkecil


Penderitaan & Pajak

PENDERITAAN&PAJAK~Matius mencatat penderitaan Yesus dengan teliti. Sebanyak empat kali, ia menulis tentang ‘pemberitahuan penderitaan Yesus’ kelak (Mat. 16:21-28, 17:22-23, 20:17-19, 26:1-5). Ini sesuai dengan tema sentral yang diutarakan Matius dalam tulisannya, yaitu Yesus adalah Raja yang menyelamatkan dunia. Ini kabar baik! Dan isi kabar baik ini memiliki maknanya dalam penderitaan yang dialami sendiri oleh Yesus.

“Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia dan mereka akan membunuh Dia dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan” (Mat. 17:22-23). Ini diungkapkan sendiri oleh Yesus di Galilea untuk kedua kalinya, sebagaimana yang sudah diketahui-Nya dalam perjalanan menuju puncak penyelamatan yang dibuat-Nya sendiri: derita, wafat dan bangkit. Apa yang dialami Yesus ini ditaruh dalam perspektif pemenuhan akan nubuat Perjanjian Lama. Derita-Nya adalah jalan baru, Perjanjian Baru, yang mengubah kematian menjadi kehidupan.

Dalam perjalanan-Nya menuju Yerusalem itu, Yesus diperhadapkan dengan persoalan bea dan pajak. Bea dua dirham (Mat. 17:24) yang mesti dibayar itu ‘dilunasi’ Yesus dengan meminta Petrus untuk pergi menemukannya pada mulut ikan yang dipancingnya di danau (Mat. 17:27). Yang diperoleh Petrus justru empat dirham, itu untuk Yesus dan Petrus sekaligus.

“Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?” (Mat. 17:25). Bea dua dirham itu adalah pajak pribadi yang setiap tahun ditarik untuk keperluan-keperluan Bait Allah. Ini dibayarkan oleh rakyat. Uniknya, Yesus menggunakan istilah Ibrani “anak” untuk menerangkan rakyat itu. Hal ini untuk menunjuk diri-Nya sebagai “Anak” dalam karya penyelamatan-Nya (bdk. Mat. 3:17, 17:5, dan 10:32 dst., 11:25-27 dll.). Ini sekaligus menunjuk murid-murid-Nya sebagai saudara-saudara-Nya (Mat. 12:50), dan anak Bapa yang sama (Mat. 5:45). Jadi, sebagai rakyat Yesus taat untuk membayar bea dua dirham itu (meskipun sebenarnya Ia dibebaskan untuk itu), tetapi sekaligus menekankan identitas diri-Nya sebagai Anak yang akan menanggung penderitaan.

Yesus menghindari kebiasaan orang banyak yang sering menjadi batu sandungan dalam hal pembayaran bea dan pajak. Ia lebih memilih untuk terlibat dan menjadi rakyat yang jujur. Malahan, penderitaan Yesus nantinya merupakan “batu loncatan” bagi keselamatan semua orang. Ia justru menjadi alasan bagi kita untuk sampai kepada Bapa dengan derita yang dialami-Nya. Maka ‘pajak’ kita kepada Allah adalah penderitaan (pengorbanan – pemberian diri) yang kita alami demi kebaikan orang lain.

Eng’Co
#pejuangkecil


Pembaptisan

PEMBAPTISAN~Salah satu tarian terkenal di Sulawesi Utara adalah "Tari Jajar." Nah, dulu saat kuliah (strata 1), pernah seorang dosen (imam) di ruangan kuliah berkata:

"Andaikata Anda kelak membaptis seorang menjadi Katolik, maka ada sukacita besar di surga." Alasannya tentu karena Sakramen Baptis memiliki daya untuk mempersatukan seseorang dengan Kristus.
Kata-kata dosen ini "dimodifikasi" oleh seorang Frater (sekarang sudah menjadi imam) menjadi seperti ini:

"Andaikata Anda kelak membaptis seorang anak menjadi Katolik, maka akan ada Tari Jajar di surga." Tentu karena menjadi Kristen Katolik adalah rahmat yang tiada hentinya.

Sekali Anda dibaptis di dalam Gereja Kristus ini, Anda takkan binasa selamanya, kecuali kalau berkhianat atau melawan Kristus dan Gereja-Nya alias berbalik haluan. Dan untuk Anda, para Imam Kristus, ketika membaptis seseorang menjadi Katolik, engkau menuruti perintah Kristus sebelum ia naik ke surga. Percayalah, upahmu besar di surga!

Eng’Co

#pejuangkecil